Upaya pemerintah merealisasikan proyek gasifikasi batu bara menjadi Dimethyl Ether/ (DME) kemungkinan cukup sulit. Pasalnya, proyek pengganti Liquefied Petroleum Gas (LPG) ini memerlukan subsidi yang cukup besar.
Lembaga kajian internasional asal Amerika Serikat, Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) mencatat proyek DME di Indonesia setidaknya membutuhkan subsidi pemerintah sebesar US$ 354 per ton atau Rp 5,3 juta per ton. Ini dilakukan untuk mempertahankan tingkat margin keuntungan.
Analis Keuangan Energi IEEFA Ghee Peh menilai besarnya dukungan pendanaan yang diperlukan merupakan sinyal bahwa mensubsidi proyek semacam ini tidak masuk akal secara ekonomi bagi pemerintah Indonesia atau pembayar pajak.
Pada 10 Maret 2023, perusahaan kimia asal Amerika Serikat Air Products and Chemicals telah menarik diri dari semua proyek hilirisasi batu bara di Indonesia, termasuk fasilitas produksi gas DME yang akan dikonversi dari batu bara dari PT Bukit Asam Tbk (PTBA). Terlepas dari pembicaraan mitra investasi baru, menurutnya kelayakan finansial proyek tetap dipertanyakan.
Sejak 2018, gasifikasi batu bara untuk menghasilkan bahan bakar DME bagi rumah tangga Indonesia disebut-sebut sebagai pengganti impor bahan bakar gas cair (LPG) yang lebih terjangkau.
Namun, laporan IEEFA pada 2022 menunjukkan, harga DME yang lebih murah dibanding LPG hanya untuk 15 bulan selama periode 20 tahun dan memperkirakan bahwa total biaya produksi per ton pabrik DME akan hampir dua kali lipat dari yang dibayar Indonesia untuk impor LPG.
“Kami menunjukkan bahwa baik PTBA maupun operator pabrik DME lainnya akan kesulitan memproduksi bahan bakar DME tanpa subsidi yang cukup besar dari pemerintah. Hal ini akan tetap berlaku bahkan jika melibatkan calon investor dari China, yang telah memiliki industri batu bara-ke-DME yang sudah berkembang,” ujar Ghee Peh dalam keterangan tertulis, dikutip Kamis (6/4/2023).
Lebih lanjut, Ghee Peh menjelaskan dua proyek hilirisasi yang terdampak oleh mundurnya Air Products, sedang dalam pengembangan dengan perkiraan biaya sebesar US$4,1 miliar.
Pabrik gasifikasi batu bara di Sumatera akan memproduksi 1,4 juta ton DME per tahun untuk menggantikan impor LPG sebesar 1 juta ton. Pabrik lain yang diusulkan, berlokasi di Kalimantan, adalah proyek batu bara menjadi metanol senilai US$2 miliar.
Dalam kasus proyek di Sumatera senilai US$ 2,1 miliar, operator harus menerima US$ 2,5 miliar selama 10 tahun. Jumlah ini berasal dari perhitungan biaya produksi batu bara ditambah margin keuntungan minimum 20%, dan memperhitungkan biaya pinjaman 6%, yang meningkat dibandingkan sebelumnya 2%.
Di sisi lain, PTBA membukukan margin keuntungan 58% tahun 2022 berdasarkan biaya produksi rata-rata batu bara US$ 57 per ton (Rp 851 ribu per ton) dan harga jual rata-rata US$ 90 per ton (Rp 1,33 juta per ton). Dengan asumsi bahwa PTBA bersedia menerima margin keuntungan rata-rata 10 tahun sebesar 25% pada kesepakatan dengan proyek DME Sumatra, maka PTBA harus memberi harga pasokan batu bara rata-rata US$ 72 per ton.
Sementara dibutuhkan sekitar 4,6 ton batu bara untuk menghasilkan 1 ton DME, sehingga proyek konversi membutuhkan 6,4 juta ton batu bara per tahun dari PTBA untuk memenuhi target DME tahunan 1,4 juta ton. Selama 10 tahun, total batu bara yang diterima akan mencapai 64 juta ton dengan harga US$ 72 per ton, atau setara US$ 4,6 miliar.
“Tambahkan jumlah yang harus dibayarkan ini ke pengeluaran modal dan kebutuhan laba pabrik DME sebesar US$ 2,5 miliar, sehingga total yang dibutuhkan, tidak termasuk biaya operasional, adalah US$ 7,1 miliar selama 10 tahun. Perhitungan biaya tersebut menghasilkan harga US$ 509 per ton bahan bakar DME yang diproduksi,” kata dia.
Menurut Ghee Peh berdasarkan perkiraan pihaknya sebelumnya bahwa pabrik DME beroperasi dengan biaya bahan baku batu bara senilai US$ 300 per ton, maka total biaya DME adalah US$ 809 per ton. Ini termasuk margin keuntungan untuk operator pabrik DME 20%, dan PTBA 25%.
Ghee Peh menyebut agar proyek DME dapat bekerja pada tingkat yang sama dengan impor LPG, maka setidaknya dibutuhkan US$ 354 per ton subsidi pemerintah dalam kondisi saat ini, kecuali PTBA atau operator pabrik DME bersedia melepaskan margin keuntungannya.
“Analisis perhitungan kami memperkuat kesimpulan yang dibuat dalam laporan IEEFA sebelumnya bahwa Indonesia tidak akan merasa layak secara ekonomi jika mensubsidi proyek hilirisasi batu bara,” kata dia.