Bukan Nikel, Tiba-Tiba Proyek RI Ini Terimbas Sanksi Eropa

uni eropa

Salah satu proyek di Indonesia turut terkena imbas sanksi Uni Eropa dan Inggris. Bukan nikel atau pun minyak kelapa sawit (Crude Palm Oil/ CPO) yang kerap menjadi sengketa perdagangan dengan Uni Eropa, melainkan proyek hulu minyak dan gas bumi (migas).

Proyek hulu migas yang terimbas sanksi Uni Eropa ini yaitu proyek lapangan gas Tuna di Wilayah Kerja (WK) atau Blok Tuna di perairan Natuna. Lantas, mengapa ini bisa terjadi?

Proyek pengembangan gas Tuna ini ternyata terimbas sanksi Uni Eropa karena salah satu perusahaan yang memiliki hak partisipasi di pengelolaan lapangan ini berasal dari Rusia, yakni Zarubezhneft.

Pasalnya, Uni Eropa dan Inggris mengenakan sanksi terhadap proyek-proyek yang terkait dengan perusahaan Rusia sebagai dampak perang Rusia-Ukraina.

Adapun perusahaan induk dari Premier Oil, pengelola Blok Tuna, yaitu Harbour Energy mengungkapkan proyek Tuna ini terimbas sanksi Uni Eropa dan Inggris terhadap perusahaan-perusahaan Rusia. Akibatnya, pihaknya mengalami kesulitan untuk berkoordinasi dengan mitra asal Rusia tersebut.

Padahal, Pemerintah Indonesia sudah menyetujui rencana pengembangan (Plan of Development/ POD) Lapangan Tuna ini pada Desember 2022 lalu.

“Pemerintah menyetujui rencana pengembangan Lapangan Tuna di Desember. Namun, kemajuan lebih lanjut dipengaruhi oleh sanksi UE dan Inggris yang membatasi kemampuan kami sebagai operator untuk menyediakan layanan tertentu kepada mitra Rusia kami di Lapangan Tuna,” ungkap Harbour Energy dalam laporan tahunannya, dikutip Senin (13/3/2023).

Oleh sebab itu, saat ini perusahaan menyebutkan tengah melakukan koordinasi dengan mitra terkait. Terutama, untuk mencapai solusi yang memungkinkan agar proyek ini dapat segera jalan.

Untuk diketahui, pada tahun 2020 lalu, Premier Oil Tuna B.V. telah mendapatkan partner untuk mengelola Blok Tuna yakni dengan Zarubezhneft.

Zarubezhneft sendiri merupakan perusahaan migas milik pemerintah Rusia yang dilaporkan mengakuisisi 50% hak partisipasi Blok Tuna melalui anak usahanya, ZN Asia Ltd.

Sebelumnya, Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto menyampaikan persetujuan POD Pertama Lapangan Tuna menunjukkan bahwa daya saing investasi hulu migas masih menjanjikan. Sehingga mampu menarik investor dunia untuk datang ke Indonesia.

Menurut Dwi lokasi Lapangan Tuna sendiri memiliki risiko tinggi, namun dengan dukungan insentif dan fleksibilitas yang diberikan pemerintah dapat meningkatkan keekonomian lapangan tuna itu sendiri. Dengan begitu, POD Pertama Lapangan Tuna dapat direalisasikan.

Perkiraan biaya investasi untuk pengembangan Lapangan Tuna terdiri dari investasi (di luar sunk cost) diperkirakan sebesar US$ 1,050 miliar, investasi terkait biaya operasi sampai dengan economic limit sebesar US$ 2,020 miliar dan biaya Abandonment and Site Restoration (ASR) sebesar US$ 147,59 juta.

Adapun, dengan masa produksi yang diperkirakan sampai 2035, maka Pemerintah akan mendapatkan pendapatan kotor sebesar US$ 1,24 miliar atau setara dengan Rp 18,4 triliun. Adapun pendapatan kotor perusahaan sebesar US$ 773 juta atau setara dengan Rp 11,4 triliun dengan biaya cost recovery mencapai US$ 3,315 miliar.

“Investasi Lapangan Tuna sangat besar dari sejak proyek hingga operasional sampai economic limit dengan nilai investasi mencapai US$ 3,070 miliar dolar atau setara dengan Rp 45,4 triliun sehingga akan turut memperkuat dan menggerakkan perekonomian nasional,” kata Dwi Senin (2/1/2022).

Sementara dari sisi penerimaan negara, diperkirakan Pemerintah akan mendapat income hingga mencapai Rp 18,4 triliun atau jauh lebih besar dibandingkan potensi penerimaan kontraktor yang sebesar Rp 11,4 triliun.

“Hal ini menunjukkan pemberian insentif untuk meningkatkan keekonomian Lapangan Tuna tetap menempatkan kepentingan negara pada posisi yang tinggi. Bahwa negara harus mendapatkan manfaat terbesar sebagaimana amanah UUD 1945 Pasal 33”, kata Dwi.

Dwi menilai pengelolaan hulu migas di wilayah perbatasan, seperti di Blok Tuna, tentu tidak hanya bermakna hitung-hitungan ekonomi semata. Namun juga ada kepentingan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

“Persetujuan POD Pertama kemudian dilanjutkan dengan pelaksanaan proyek di Lapangan Tuna, maka akan ada aktivitas di wilayah perbatasan yang masuk salah satu hot spot geopolitik dunia. Bendera merah putih akan berkibar di lokasi proyek,” katanya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*