Perusahaan petrokimia asal Amerika Serikat (AS), Air Products and Chemicals Inc, memutuskan mundur dari proyek gasifikasi batu bara RI.
Air Products mundur dari dua proyek hilirisasi batu bara RI. Pertama, yaitu proyek gasifikasi batu bara menjadi dimethyl ether (DME) yang berkonsorsium dengan PT Bukit Asam Tbk (PTBA) dan PT Pertamina (Persero).
Kedua, Air Products juga mundur dari proyek hilirisasi batu bara menjadi metanol di Kalimantan Timur bersama dengan perusahaan Group Bakrie yakni PT Bakrie Capital Indonesia Group dan PT Ithaca Resources yang membentuk konsorsium bernama PT Air Products East Kalimantan (PT APEK).
Proyek hilirisasi ini merupakan salah satu proyek kebanggaan Presiden Joko Widodo (Jokowi) karena digadang-gadang bisa menekan impor Liquefied Petroleum Gas (LPG). Tak ayal, ini pun menjadi salah satu Proyek Strategis Nasional (PSN).
Di balik keputusan Air Products mundur dari proyek DME RI, ternyata Pemerintah Indonesia kini tengah menggodok aturan untuk bisa memproduksi dan mendistribusikan DME tersebut.
Hal ini diungkapkan Wakil Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) I, Pahala Nugraha Mansury.
“Saya nggak tahu (penyebab Air Products mundur), karena kita sebetulnya pada saat ini sedang mempersiapkan sebuah peraturan untuk bisa memproduksi dan mendistribusikan DME tersebut,” ungkap Pahala kepada CNBC Indonesia, Rabu (15/3/2023).
Meski demikian, lanjutnya, pihaknya tetap berupaya mendorong proyek DME ini tetap bisa berjalan ke depannya dengan mengkaji calon mitra yang tepat untuk menggantikan Air Products.
“Kita nanti akan kaji siapa yang kira-kira, siapa yang akan menjadi mitra kita untuk terus melanjutkan program tersebut,” tambahnya.
Perlu diketahui, berdasarkan data yang pernah dipaparkan Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada 2022 lalu, harga batu bara dan harga DME menjadi isu yang menjadi perhatian dalam proyek gasifikasi batu bara ini.
Berdasarkan pertemuan tiga menteri, yaitu Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Menteri ESDM, dan Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), diusulkan harga DME ex-factory sebesar US$ 378 per ton. Harga DME ditetapkan bersifat Fixed Price, tidak ada eskalasi harga batu bara dan Process Service Fee (PSF).
Untuk mendukung proyek ini, sejumlah insentif dan regulasi dibutuhkan, antara lain pengurangan tarif royalti batu bara secara khusus untuk gasifikasi batu bara hingga sebesar 0%, regulasi harga batu bara khusus untuk peningkatan nilai tambah (gasifikasi) yang dilaksanakan di mulut tambang, regulasi jangka waktu khusus Izin Usaha Pertambangan (IUP) batu bara yang khusus digunakan sebagai pasokan batu bara untuk gasifikasi, diberikan masa IUP sesuai umur ekonomis industri gasifikasi batu bara.
Selain itu, perusahaan juga meminta tax holiday di mana insentif Pajak Penghasilan (PPh) Badan secara khusus sesuai umur ekonomis gasifikasi batu bara, lalu pembebasan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) jasa pengolahan batu bara menjadi syngas sebesar 0%, dan pembebasan PPN EPC kandungan lokal.
Sebelumnya, Plh Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM Idris Sihite mengungkapkan, mundurnya Air Products dari proyek gasifikasi batu bara di RI karena belum disepakatinya skema bisnis dan juga aspek keekonomian antara perusahaan AS dengan konsorsium perusahaan Indonesia.
“Yang terjadi antara PTBA dan Air Products itu skema bisnis yang mungkin belum ketemu aspek keekonomian dan sebagainya,” ungkapnya saat ditemui di Kementerian ESDM, Kamis (9/3/2023).
Hal senada diungkapkan Ketua Indonesian Mining & Energy Forum (IMEF) Singgih Widagdo. Singgih mengatakan, nilai keekonomian masih menjadi persoalan dalam menjalankan proyek hilirisasi batu bara di Indonesia.
“Ini masalah, bagaimana keekonomian, sehingga dari sisi PTBA ya yang selama ini menjadi pionir dan DME ini non coal di Eropa juga ada, cuma DME coal itu kalo kita lihat paling besar di China,” ujarnya kepada CNBC Indonesia dalam program ‘Mining Zone’, dikutip Rabu (15/3/2023).
“Namun kembali lagi ini menjadi critical kalau dari PTBA kalau sampai nggak ekonomis bisa jadi ke depan jadi stranded asset dan PTBA sebagai public company,” tandasnya.
Perlu diketahui, proyek DME di Tanjung Enim, Sumatera Selatan ini mulanya ditargetkan bisa menghasilkan 1,4 juta ton DME per tahun dan diperkirakan menyerap 6 juta ton batu bara per tahunnya.
Dengan produksi 1,4 juta ton DME per tahun, maka diperkirakan bisa menekan impor LPG sebesar 1 juta ton per tahunnya.
Proyek yang disaksikan langsung awal pembangunannya atau ground breaking oleh Presiden Jokowi pada 24 Januari 2022 ini bernilai investasi US$ 2,1 miliar dan bisa menghemat devisa pengadaan impor LPG hingga Rp 9,14 triliun per tahun.